a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn
Abdullah.[7] Di barat populer dengan sebutan Avicenna.[8] Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di
Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah.
Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan
orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428
H (1037 M) alam usia yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus
besar.[9]
Tampilnya Ibn sina selain sebagai ilmuwan yang
terkenal di dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ib kota kebudayaan, dan
orang tuanya yang dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang
luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memuylai pendidikannya pada usia
lima tahun di kota kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia
pelajar adalah membaca Al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari
ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat
ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai
berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.[10]
b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan,
barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina
terbagi menjadi 2, yaitu:
1. ilmu yang tak kekal
2. ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat
dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi
menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.[11]
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu
:
1. Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi
yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan
fisik, intelektual maupun budi pekerti.[12]
2. Diarahkan pada upaya dalam rangka
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.[13]
3. Tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan,
yang artinya mencetak tenaga pekerja yang profesional.[14]
3. Ibn khaldun
a. Riwayat Hidup
Di tengah konflik yang terjadi diantara
Kerajaan-kerajaan kecil, Kerajaan bani Abdul Wad Az-zanatiyah terkena musibah
dan bencana yang berasal dari Kerajaan tetangganya, yakni Kerajaan Bani Hafzh
yang berada di Tunisia.[15] Dalam suasana seperti itu ibn Khaldun lahir di
Tunisia, awal Ramadhan tahu 732 H, dari kjeluarga besar berbangga dengan nasab
Arabnya yang berasal dari Hadromaut, Yaman. [16]
Ibnu Khaldun tumbuh dan berkembang sebagai orang
yang mencintai ilmu. Pertama-tama ia menghafal Al-Qur’an lewat bimbingan
ayahnya sendiri. Lalu ia mempelajari ilmu Hadits, ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa,
Sastra, Sejarah, selain mempelajari Filsafat dan Ilmu Mantiq (logika).[17]
b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Khaldun tidak memberikan defenisi
pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum,
seperti dikatakan ibnu Khaldun bahwa “barang siapa tidak terdidik oleh orang
tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barang siapa yang tidak
memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui
orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak
mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan
alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mangajarkannya.”[18]
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun
menganut priunsip keseimbangan. Dia inginanak didik mencapai kebahagiaan
duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap
rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita
dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan islam yaitu sifat moral religius
nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan
masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat
Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan perinsip-perinsip
pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.
Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan
pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada aqal untuk lebih giat dan
melakukan aktivitas.[19]
4. Ikhwan As-Shafa
a. Riwayat Hidup
Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan) adalah organisasi dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini,
terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem
filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan
al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah buku yang sangat mereka
hormati “Kalilah wa Dimnah”.[20]
Kemunculan Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh
keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh
ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada
ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja
dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak penguasa waktu
itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang timbul.[21]
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa
mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita
kebenaran, elit intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat
untuk menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militant untuk beramar ma'ruf
nahi mungkar.[22]
b. Pemikiran Pendidikan
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua
ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang
mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana
pendapat Plato yang beraliran idealisme.[23]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan
al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka
mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak
memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga
memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri
sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama
ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.[24]
B. Generasi Moderen
1. KH. Ahmad Dahlan
a. Riwayat Hidup
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya
bernama Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan
Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah pada tahun 1285 H (1868 M ). Kyai Haji
Abu Bakar adalah khatib di Majid Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ayahnya
Siti Aminah adalah penghulu besar di Yogyakarta.[25]
Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan
tempat Muhammad Darwis dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat
kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian
hari. Ayahnya KH Abu Bakar adalah Khotib Masjid Agung Yogyakarta. KH Ahmad
Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pesantren. Sudah sejak
kanak-kanak diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh
para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukan
naluri melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya. Pengetahuan
yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil otodidaknya, kemampuan membaca dan
menulisnya diperoleh dari belajar kepada ayahnya, sahabatnya dan
saudara-saudaranya dan iparnya. Ia di didik sendiri melalui cara pengajian
yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya
b. Pemikiran Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk
menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada
skala prioritas utama dalam proses pembangunan ummat.[26]
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya
diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim
dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH.
Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:[27]
1) Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha
menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara
dunia dengan akhirat.
3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
2. KH. Hasyim Asy’ari
a. Riwayat Hidup
Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang Jombang,
Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan
tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari
ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd.
Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al
Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[28] Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan
raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim
Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang
pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan
sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera
dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang
yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun
kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar
NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi
ulama lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais
Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa
lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’ari.[29]
b. Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim
Asy’ari dalam kitab Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif,
di mana beliau mengwali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat
al-qur’an. Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengadung
hikamah.dengan cara ini. K.H. Hasyim Asy’ari memberi pembaca agar menangkap
ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Namun demikaian, ide-ide
pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan
beliau[30]
Tujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim
Asy’ari adalah untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul
karimah). rumusan ini secara implisit dapat terbaca dari beberapa hadits dan
pendapat ulama yang dikutipnya. Beliau menyetir sebuah hadits yang berbunyi:
“diriwayatkan dari Aisyah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda : kewajiban orang
tua terhadapnya adalah membaguskan namanya, membaguskan ibu susuannya dan
membaguskan etikanya.[31]
3. K.H. Imam Zarkasyi
a. Riwayat Hidup
KH. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo,
Jawa Timur, pada tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal pada tanggal 30 Maret
1985 dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.[32]
Ayahnya bernama Santausa Annam Bashari berasal
dari keluarga elit Jawa yang taat beragama dan merupakan generasi ketiga dari
pimpinan Pondok Gontor Lama dan generasi kelima dari Pangeran Hadiraja Adipati
Anom, putra Sultan Kesepuhan Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan Bupati
Suriadiningrat yang terkenal pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan
(Mangkunegara).[33]
Sejak usia kanak-kanak Imam Zarkasyi sudah hidup
sebagai anak yatim, karena saat ia berusia delapan tahun ayahnya meninggal
dunia. Tidak lama kemudian ibunya juga meninggal yaitu pada tahun 1920.
Kemudian Imam Zarkasyi mulai belajar agama (mondok)
di Pesantren Joresan. Karena proses belajar di Pesantren diselenggarakan pada
sore hari, maka di pagi harinya ia belajar Sekolah Desa Nglumpang. Adapun kitab
yang diajarkan di Pesantren tersebut diantaranya adalah Ta’lim
al-Muta’allim, al-Sullam, Safinah al-Najah dan al-Taqrib.
b. Pemikiran Pendidikan
?
4. Hamka
a. Riwayat Hidup
“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia,
tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara”.Begitulah kata mantan Perdana Menteri
Malaysia,Tun Abdul Rozak.Nama aslinya ialah Haji Abdul Malik Karim Amrulloh
biasa disebut dengan HAMKA yang merupakan singkatan dari nama panjang beliau.[34] Beliau lahir di Maninjau,Sumatra Barat pada
tanggal 16 Februari 1908 M/ 13 Muharrom 1326 H.Belakangan ia diberikan sebutan Abuya,yaitu
panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi,abuya
yang berarti ayahku atau orang yang dihormati. Ayahnya adalah Syech Abdul Karim
ibn Amrulloh,yang dikenal dengan Haji Rosul dan merupakan pelopor Gerakan
Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada 1906.[35]
Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dari
sang ayah.Pada usia 6 tahun,ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7
tahun, ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya ia belajar mengaji al-Qur’an
sampai khatam.
Beliau Sekolah Dasar “Maninjau sehingga Darjah
Dua” kemudian padausia 10 tahun, ayahnya mendirikan sebuah lembaga pendidikan
yang bernama “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari
ilmu agama dan mendalami bahasa Arab.
b. Pemikiran Pendidikan
Pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi 2
bagian yaitu:
1. Pendidikan jasmani,pendidikan untuk
pertumbuhan & kesempurnaan jasmani serta,
2. Pendidikan ruhani,pendidikan untuk
kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan & pengalaman yang
didasarkan pada agama.
Keduanya memiliki kecenderungan untuk berkembang
dengan melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat
dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut. Dalam
pandangan Islam kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah.Titik
sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak
saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”.
Fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun
untuk senantiasa berbuat kebajikan& tunduk mengabdi sebagai kholifah fi
al-ardh maupun ‘abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati,
& pancaindra yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga unsur
tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun
peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.[36]
Tujuan Pendidikan dalam Pandangan HAMKA adalah
“mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk beraklhlaq
mulia” serta “mempersiapkan peserta didik untuk hidupsecara layak dan berguna
di tengah-tengah komunitas sosialnya”.[37]
5. Mahmud Yunus
a. Riwayat Hidup
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus Dilahirkan di Batu
Sangkar pada tanggal 10 Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982.
Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan kecenderungannnya yang
kuat untuk memperdalam ilmu Agama Islam. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar
membaca al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya Muhammad Thahir yang dikenal dengan
nama Engku Gadang. Setelah menamatkan al-Qur’an, ia menggantikan kakeknyas
ebagai guru ngaji al-Qur’an. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi ke
sekolah desa dan kemudian melanjutkan studi ke Madras School. Selanjutnya
padatahun 1917, ia bersama teman-temannya mengajar di Madras School dengan
memperbaru isi sitem belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah di samping
sistem madrasah dengan menggunakank itab-kitabmutakhir.[38]
Dengan bekal kemampuan bahasa Arab yang sangat
baik, padatahun 1924 Mahmud Yunus melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar
di Kairo, Mesir. Di sana ia memperdalam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
Setelah lulus dari Universitas al-Azhar, ia melanjutkan studinya ke Daru lUlum
dan mendapatkan gelar diploma dengan spesialisasi dalam bidang pendidikan.[39]
b. Pemikiran Pendidikan
Menurut Mahmud Yunus, pendidikan adalah suatu
bentuk pengaruh yang terdiri dari ragam pengaruh yang terpilih berdasarkan
tujuan yang dapat membantu anak-anak agar berkembang secara jasmani, akal dan
pikiran.dalam prosesnya ada upaya yang harus dicapai agar diperoleh hasil yang
maksimal dan sempurna, tercapai kehidupan harmoni secara personal dan
sosial.segala bentuk kegiatan yang dilakukan menjadi lebih sempurna, kokoh, dan
lebih bagus bagi masyarakat.[40]
Dari aspek tujuan pendidikan islam. Berkaitan dengan
tujuan pokok pendidikan Islam, Mahmud Yunus merumuskan dua hal, yaitu untuk
kecerdasan perseorangan dan kecerdasan mengerjakan pekerjaan. Ada yang
berpendapat bahwa tujuanpendidikan Islam ialah mempelajari serta mengetahui
ilmu-ilmu agama Islam dan mengamalkannya, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih,
dan lain sebagainya. Tujuan inilah yang dipaka ioleh madrasah-madrasah di
seluruhdunia. Bahkan ada ulama yang mengharamka nmempelajari ilmu pengetahuan
umum seperti Fisika dan Kimia. Tujuan seperti inilah menurut Mahmud Yunus yang
membuat Islam lemah dan tidak bisa mempertahanan kemerdekaannya.
Tujuan pendidikan islam menurut Mahmud Yunus
ialah menyiapkan anak-anak didik agar dewasa kelak mereka sanggup dan cakap
melakukan pekerjaan dan amalan akhirat , sehingga tercipta kebahagiaan dunia
dan akhirat.[41]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi. Muhammad ‘Athiyyah, 2003. At-Tarbiyyah
Al-Islamiyyah (terjemah Abdullah Zaki Al-Kaaf: Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan
Islam). Bandung : Pustaka Setia.
Aly. Herry Noer, 2003. Transformasi Otoritas
Keagamaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anwar. Saeful, 2007. Filsafai Ilmu
Al-Ghazali. Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung : Pustaka setia.
Asrofie. M. Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan,
Pemikiran dan Kepemimpinannya,
Fathoni. Khoirul & Muhamad Zen, 1992. NU
Pasca Khittah. Yogyakarta: Media Widia Mandala.
Gaudah. Muhammad Gharib, 2012. Albaqirah
Ulama’ Al-Hadharah wa Al-Islamiyah, (alih bahasa: Muhyiddin Mas Rida, 147
Ilmuan Terkemuka Dalam Sejarah Islam). Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar.
Hizah. Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan
Islam. Jakarta. Ciputat Pers.
Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, (alih
bahasa Masturi Irham, Lc Dkk), (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsal, 2012
Jalaluddin & Usman Said, 1999. Filsafat
Pendididikan Islam. Jakarta, PT. Raja Grafindo
Kurniawan. Samsul dan Erwin Makhrus, 2011. Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam .Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mohammad. Herry, 2006. Tokoh-Tokoh Islam yang
berpengaruh di Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press.
Narasi, 2006. 100 Tokoh yang Mengubah
Indonesia. Yogyakarta: PT. Narasi,
Nata. Abuddin, 1997. Filsafat Pendidikan
Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
____________, 2003. Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
____________, 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Nizar. Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan
Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
_____________, 2008. Memperbincangkan
Dinamika Intelektual Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan Islam. Jakarta :
Kencana.
Noer. Delias, 1985. Gerakan Modern Islam di
Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran
Filsafat Islam,
Ramayulis dan Samsul Nizar, 2011. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
Ridlo, Muhamad Jawad, 2002. Tiga Aliran Utama
Teori Pendidikan Islam. Jogjakarta. PT. Tiara Wacana .
Sarwo Imam Taufiq, 2008. Skipsi : Konsep
Pendidikan K.H. Hasyim asy’ari Dalam Kitab Adab A’lim Wa Mutaallim Dalam
Perspektif Progresivisme. Semarang: Tidak ada Penerbit ,
Yunus. Mahmud, ,1990. Pokok-Pokok Pendidikandan
Pengajaran. Jakarta:hidakarya.
_______________, at-Tarbiyah wa at-Ta’lim.
Ponorogo: Darussalam PP. Wali Songo
Zar. Sirajuddin, 2012. Filsat islam. Filosof
dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
1 Komentar
terimakasih atas informasinya, apakah ada lowongan kerja lampung yang masih tersedia, atau ada info tentang loker cpns dan loker bumn saat ini, karena saya ingin keluar kerja dari jasa intro video yang pekerjaanya adalah jasa editing video
BalasHapusSilakan tuliskan harapan yang membangun untuk SMAIT Ar-Rahmah Anda di sini